Diberdayakan oleh Blogger.

Ritual Kehamilan 7 Bulan

Source: Here
Menyalakan radio sambil buka laptop, itu kebiasaan saya saban pagi. Maklum, anak kosan yang fakir tivi. Channel yang saya pilih menjelang jam 6 pagi itu 107.5 PRFM. Sayangnya frekuensi berebut dengan radio sebelah, jadilah samar-samar info terdengar.

Lebih sayang lagi, rupanya dialog yang baru saja akan saya simak itu sudah sampai di penghujung acara. Kata yang sempat saya tangkap diantaranya "tujuh bulanan".

Penasaran dengan kata itu, langsug saya searching. Hasilnya rupa-rupa. Dari penjelasan yang detail dan penuh dalil hingga sekadar judul tanpa isi.

Rujukannya pun macam-macam. Ada yang shohih, ada pula yang aspal -entah (asli atau palsu). Bahkan judgment-nya juga beraneka, dari mengiyakan, membolehkan, sampai mengharamkan.

Lalu sebenarnya apa dan bagaimana tujuh bulanan itu?

Dari referensi yang saya baca, ternyata adat tujuh bulanan sudah dipraktikkan hampir di seluruh nusantara. Orang Jawa menyebutnya Mitoni. Orang Sunda sering bilang Tingkeban. Dalam istilah Bali disebut Megedong. Sedangkan Gorontalo mengenalnya Molonthalo, dan masih banyak lagi. Beda pulau biasanya beda lagi namanya.

Tidak ada sumber pasti yang menyebut kapan adat tujuh bulanan ini dimulai dan siapa yang memulai. Tapi ada salah satu sumber yang mengatakan kalau ritual ini dimulai oleh umat Hindu. Dikutip dari kitab Upadesa halaman 6, istilah tujuh bulanan berasal dari kata 'garba' yang berarti perut dan 'wedana' artinya sedang mengandung.

Secara sederhana, adat tujuh bulanan ini dilakukan untuk memohon keselamatan bayi yang masih ddi dalam kandungan. Saya kira semua adat yang membedakan istilah tujuh bulanan itu sepakat dengan definisinya. Bagaimana pun proses ritualnya, intinya hanya satu: doa.

Bagaimana adat ini bisa diamalkan umat Islam?

Secara historis memang ajaran Hindu lebih dulu ada di Indonesia. Mungkin Anda pernah dengar kisah Wali Songo, sembilan wali yang berperan menyebarluaskan Islam di bumi pertiwi ini. Setiap wali memiliki cara atau strategi yang berbeda dalam menjalankan misinya. Begitu pula sunan Kalijaga, anggota Wali Songo yang menggunakan metode asimilasi budaya.

Dari Sunan Kalijaga inilah, masyarakat Indonesia mengenal perpaduan budaya Hindu yang semula dianut, dengan syariat Islam yang ia ajarkan. Tujuan sebenarnya hanyalah mengenalkan Islam lewat budaya yang sudah ada, agar masyarakat tidak kaget dan mudah menerimanya. Hingga lahirlah berbagai adat yang kita kenal atau bahkan kita amalkan sampai hari ini. Seperti Tahlilan, Sedekah Laut/Bumi, Nyurani (memperingati bulan Syura), bahkan mungkin juga adat tujuh bulanan.

Bagaimana hukumnya?

Tentu saja banyak pendaat. Ada yang mengharamkan karena tidak ada perintahnya dalam Al Qur'an, malah ini berasal dari Hindu. Ada pula yang membolehkan karena sudah menjadi budaya. Ada pula yang menghalalkan karena dianggap baik dan memiliki landasan dari sumber yang mereka percaya.

Disini saya tidak akan memperdebatkan hukumnya. Selain saya sendiri tidak punya referensi yang kuat tentang hal ini, saya juga tidak ingin lekas menjudge halal, haram, bid'ah, atau mubah. Tulisan sejatinya hanya untuk mengurai apa yang sempat saya dengar dari radio di awal.

Berdasar kalimat penutup dalam dialog di radio itu, Ummi menegaskan bahwa tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk mengadakan tujuh bulanan. Bahkan empat bulanan pun tidak ada kewajiban. Namun juga tidak ayat yang pasti melarang.

Hanya saja, perlu diingat bahwa inti dari tujuh bulanan, empat bulanan, atau apa pun namanya, itu adalah doa. Sedangkan orang yang paling berkewajiban untuk mendoakan si bayi itu bukan orang lain, melainkan ayah dan ibunya si bayi. Maka mengundang keluarga, kerabat, tetangga, dan lain-lain untuk hadir dalam ritual itu, disertai membagika-bagikan bingkisan makanan, alangkah lebih baiknya diniatkan sodaqoh saja.

Ada pun proses ritualnya memang setiap daerah bisa jadi beda. Tapi pada dasarnya semua sama, yakni memanjatkan doa yang baik untuk anak yang masih dalam kandungan. Wallohu'alam.***


“Sesungguhnya setiap orang di antaramu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya empat puluh hari berupa nutfah, kemudian menjadi segumpal darah, (empat puluh hari kemudian), kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula (40 hari berikutnya). Kemudian diutuslah kepadanya malaikat, lalu meniupkan ruh kepadanya dan diperintahkan atasnya menuliskan empat hal; ketentuan rejekinya, ketentuan ajalnya, ketentuan amalnya, dan ketentuan celaka atau bahagianya …” (HR. Bukhari dan Muslim)

1 komentar:

  1. Di daerah saya juga masih menganut adat 7 bulanan. Tapi intinya sedekah ;)

    BalasHapus

Matur suwun sampun mampir. Menurut Panjenengan kados pundi?